Minggu, 27 Februari 2011

Trend Kebijakan Sektor Keuangan Nasional

Dewan Gubernur BI akhirnya menurunkan BI rate sebanyak 50 basis poin menjadi 8,75%. Pertimbangannya, relatif rendahnya tingkat inflasi pada Desember 2008 sehingga inflasi sepanjang 2008 masih berada pada kisaran 11%. Pola kebijakan moneter ini menginformasikan bahwa kebijakan BI rate sampai saat ini lebih diekspektasikan untuk menjaga tingkat inflasi dan bukan diorientasikan menstimulus sektor riil secara langsung. Tren kebijakan ini ketika diimplementasikan dalam kondisi perekonomian yang normal memang tidak bermasalah, namun tatkala situasi ekonomi sedang mengalami berbagai tekanan seperti sekarang, maka jelas akan memperlambat upaya peningkatan laju produksi output nasional. Oleh karena itu, dalam konteks saat ini kebijakan penutrunan BI rate tersebut memang sangat layak karena didukung oleh penurunan permintaan nasional, sehingga dengan tingkat harga yang relatif terjaga penurunan tingkat suku bunga acuan dapat dilakukan.

Merawat Daya Beli

Di luar perdebatan akademik di atas, penurunan BI rate saat ini diharapkan dapat memacu tingkat produksi nasional, baik oleh pelaku usaha mikro-kecil maupun menengah-besar. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan mendasar antara krisis sekarang ini dengan tragedi ekonomi 1997/1998. Dalam konteks saat ini, tekanan ekonomi bukan hanya menimpa korporasi besar tetapi juga pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Oleh karena itu, keseluruhan elemen usaha di Indonesia harus mendapatkan fasilitas kebijakan yang setara. Apabila krisis 1997/1998 sektor UMKM dapat dijadikan penopang subsitusi usaha besar, di mana PHK korporasi besar dapat dialihkan pada sektor mikro dan kecil, maka pada saat ini pola tersebut kurang bisa dilakukan. Ini disebabkan adanya penurunan permintaan secara nasional dan global sehingga peningkatan penawaran oleh sektor mikro dan kecil akan sulit diserap oleh oleh pasar.

Berpijak pada kondisi tersebut, maka penurunan BI rate sekarang ini bukan hanya difungsikan untuk menjaga dan meningkatkan produksi nasional, tetapi juga harus bisa digunakan untuk mengamankan tingkat daya beli nasional. Dengan begitu, tingkat permintaan nasional -selama pasar global masih tertekan dan belum adanya subsitusi pasar ekspor Indonesia- akan dapat terjaga sehingga penurunan suku bunga acuan memiliki fungsi strategis dalam mengakselerasi tingkat penawaran produksi. Pada titik inilah, berbagai stimulus ekonomi yang telah dan hendak dikeluarkan oleh pemerintah dapat diposisikan secara integral dengan kebijakan moneter. Kebijakan stimulus ekonomi secara langsung difungsikan untuk menjaga dan meningkatkan produksi nasional. Sementara itu, penurunan BI rate secara tidak langsung dipakai menjaga daya beli nasional, sehingga setiap terjadinya peningkatan produksi dapat diikuti oleh kenaikan permintaan.

Persoalan “Time Lag”

Dalam implementasinya, kebijakan penurunan BI rate tidak lantas secara langsung dapat meningkatkan produksi dan konsumsi melalui skema kredit. Hal ini disebabkan setiap penurunan suku bunga acuan tidak langsung diikuti penurunan suku bunga kredit oleh sektor perbankan. Dalam ekonomi yang normal, time lag dari penurunan BI rate ke bunga kredit diperlukan tempo sekitar 3 bulan, sehingga time lag saat krisis sekarang mungkin lebih lama lagi. Parahnya lagi, persoalan ini kurang diregulasi sehingga BI sebagai otoritas moneter tidak dapat memaksa sektor perbankan menurunkan secara langsung suku bunga bank mengikuti penurunan BI rate. Hal ini masih ditambah dengan realitas bahwa struktur perbankan saat ini mulai didominasi asing, sehingga fungsi intermediasi keuangan secara maksimal menjadi sulit tercapai (walaupun bank lokal juga turut andil dalam memperlambat bergeraknya fungsi penyaluran kredit).

Inefektivitas fungsi intermediasi ini sebenarnya dapat diminimalisasi dengan memanfaatkan secara efektif instrumen negara yang ada. Empat bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, dan BTN) sebagai subordinat negara dapat diposisikan sebagai alat yang dapat memastikan tujuan kebijakan BI berjalan secara efektif. Pemerintah sebagai pemilik mayoritas bank BUMN harus bisa memaksa unit bisnis negara tersebut menurunkan bunga kredit sehingga penyaluran kredit menjadi lebih cepat. Potensi akselerasi kredit bank BUMN ini cukup besar karena keempatnya memiliki kontribusi besar dalam struktur perbankan nasional. Sampai dengan Oktober 2008, empat bank BUMN itu menguasai 35,67% dana pihak ketiga (DPK) [Statistik Perbankan Indonesia, 2008]. Dengan penguasaan DPK yang relatif besar itu dan adanya penyesusian atas tingkat suku bunga kredit bank BUMN dengan BI rate, maka tingkat kredit nasional sebesar 34,52% yang telah disalurkan bank BUMN pasti dapat ditingkatkan lagi.

Sungguh pun demikian, secara keseluruhan kontradiksi yang terjadi antara kebijakan moneter dan implementasinya tersebut telah memberikan deskripsi bahwa bangunan struktur ekonomi saat ini memang sangat rapuh. Kebijakan moneter yang disusun dengan indikator kuantitatif skala makro tatkala diimplementasikan di lapangan mengalami penyimpangan yang jauh, entah sebab moral hazard ataupun infrastruktur sektor riil sendiri yang tidak bagus. Dalam satu sisi pandang, keengganan perbankan menurunkan bunga kredit dapat dipahami karena risiko kredit yang masih besar (daya beli rendah, stabilitas politik yang diragukan karena peristiwa pemilu, dan lain-lain). Tetapi, secara keseluruhan argumen-argumen itu tidak boleh dibiarkan menjadi dalih untuk semua bagi pelaku ekonomi di sektor perbankan. Di sinilah otoritas moneter harus cerdas memahami perilaku komunitas perbankan agar kebijakan penurunan BI rate efektif dijalankan sehingga memiliki implikasi terhadap percepatan pemulihan di sektor riil.

Jurnal Nasional, 12 Januari 2009

sumber : http://ahmaderani.com/bi-rate-dan-sektor-riil.html

Senin, 14 Februari 2011

SEJARAH AKUNTANSI INTERNASIONAL

Akuntansi memainkan peranan yang sangat penting dalam masyarakat. Sebagai cabang ilmu ekonomi, akuntansi memberikan informasi mengenai suatu perusahaan dan transaksinya untuk memfasilitasi keputusan alokasi sumber daya oleh para pengguna informasi tersehut. Jika informasi yang dilaporkan dapat diandalkan dan bermanfaat, sumber daya yang terbatas tersebut dialokasikan secara optimal, dan sebaliknya alokasi sum berdaya akan menjadi kurang optimal jika informasi kurang andal dan tidak bermanfaat. Akuntansj internasionaltidaklah berbeda dan peranan yang dimaksudkan. Yang membuat studinya berbeda adalah bahwa perusahaan yang dilaporkan adalah perusahaan multinasional (multinational compain, MNC) dengan operasi dan transaksi yang melintasi batas-batas negara, atau suatu perusahaan dengan kewajiban pelaporan kepada para pengguna yang berlokasi di negara selama negara perusahaan pelaporan.

Sejarah akuntansi merupakan sejarah internasional. Kronologi berikuk ini menunjukkan bahwa akuntansi telah meraih keberhasilan besar dalam kemampuanya untuk diterapkan dari satu kondisi ke kondisi lainnya sementara di pihak lain memungkinkan timbulnya pengembangan teres-menerus dalam bidang teori dan praktik di seluruh dunla. Sebagai permulaan, sistem pembukuan berpasangan (doithfe-entru Lookkreping), yang umumnya dianggap sebagai awal penciptaaa akuntansi seperti yang kita ketahui selama ini, berawal dari negam-negah kota di Italia pida abad ke-14 dan 15.

Perkernbangannya didorong oleh pertumbuhan perdagangan intemasional di Italia Utara selama masa akhir abad pertengahan dan keinginan pemerintah untuk menemukan cara dalam mengenakan pajak terhadap transaksi komersial. ”Pembukuan Italia” kemudian berilih ke Jerman untuk membantu para pedagang pada zaman Fugger dan Kelompok Hanseatik. Pada waktu yang hampir bersamaan, para filsuf hitvis di Belanda mempertajam cara menghitung pendapatan periodik dan aparat pemerintah di Prancis menemukan keuntungan menerapkan keseluruhan sistem dalam perencanaan dan akuntabilitas pemerintah.

Perkembangan Inggris Raya menciptakan kebutuhan yang tak terelakkan lagi bagi kepentingan komersial Inggris untuk mengelola dan mengendalikan perusahaan di daerah koloni, dan untuk pencatatan perusahaan kolonial mereka yang akan diperiksa ulang dan diverifikasi. Kebutuhan-kebutuhan mi menyebabkan tumbuhnya masyarakat akuntansi pada tshun 1850-an dan suatu profesi akuntansi publik yang terorganisasi di Skotlandia dan Inggris selama tahun 1870-an. Paktik akuntansi laggris memyebar luas tidak hanya di seluruh Amerika Utara, tetapi juga di seluruh wilayah Persemakmuran Inggris yang ada waktu itu.

Perkembangan pembukuan pencatatan berpasangan

Perkembangan tersebut meliputi hal-hal berikut ini :

1. Sekitar abad ke-16 terjadi beberapa perubahan di dalam teknik-teknik pembukuan. Perubahan yang patut dicatat adalah diperkenalkan jurnal-jurnal khusus untuk pencatatan berbagai jenis transaksi yang berbeda.

2. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi evolusi pada praktik laporan keuangan periodik. Sebagai tambahan lagi, di abad ke-17 dan abad ke-18 terjadi evolusi pada personifikasi dari seluruh akun dan transaksi, sebagai suatu usaha untuk merasionalisasikan aturan debit dan kredit yang digunakan pada akun-akun yang tidak pasti hubungannya dan abstrak.

3. Penerapan sistem pencatatan berpasangan juga diperluas ke jenis-jenis organisasi yang lain.

4. Abad ke-17 juga mencatat terjadinya penggunaan akun-akun persediaan yang terpisah untuk jenis barang yang berbeda.

5. Dimulai dengan East India Company di abad ke-17 dan selanjutnya diikuti dengan perkembangan dari perusahaan tadi, seiring dengan revolusi industri, akuntansi mendapatkan status yang lebih baik, yang ditunjukkan dengan adanya kebutuhan akan akuntansi biaya, dan kepercayaan yang diberikan kepada konsep-konsep mengenai kelangsungan, periodisitas, dan akrual.

6. Metode-metode untuk pencatatan aktiva tetap mengalami evolusi pada abad ke-18.

7. Sampai dengan awal abad ke-19, depresiasi untuk aktiva tetap hanya diperhitungkan pada barang dagangan yang tidak terjual.

8. Akuntansi biaya muncul di abad ke-19 sebagai sebuah hasil dari revolusi industri.

9. Pada paruh terakhir dari abad ke-19 terjadi perkembangan pada teknik-teknik akuntansi untuk pembayaran dibayar di muka dan akrual, sebagai cara untuk memungkinkan dilakukannya perhitungan dari laba periodik.

10. Akhir abad ke-19 dan ke-20 terjadi perkembangan pada laporan dana.

11. Di abad ke-20 terjadi perkembangan pada metode-metode akuntansi untuk isu-isu kompleks, mulai dari perhitungan laba per saham, akuntansi untuk perhitungan bisnis, akuntansi untuk inflasi, sewa jangka panjang dan pensiun, sampai kepada masalah penting dari akuntansi sebagai produk baru dari rekayasa keuangan (financial engineering).

PERKEMBANGAN PRINSIP-PRINSIP AKUNTANSI DI AMERIKA SERIKAT

1 Tahap kontribusi manajemen (1900-1933)

Pengaruh manajemen di dalam formulasi prinsip-prinsip akuntansi muncul dari meningkatnya jumlah pemegang saham dan peranan ekonomi dominan yang dimainkan oleh perusahaan-perusahaan industri setelah tahun 1900. Pemain utama pada masa itu adalah asosiasi akuntan profesional, American Institute of Accountans (AIA).

Posisi dari AIA atas permintaan dari Komisi Dagang Federal (Fedeal Trade Commission-FTC) adalah bahwa “tidak ada biaya penjualan, beban bunga atau beban administrasi di dalam biaya overhead pabrik”. Penentang atas posisi dari Institut ini menghadapi pernyataan di dalam laporan yang mengatakan “diperhitungkannya bunga di dalam biaya produksi adalah teori yang tidak berdasar dan salah, dan dapat dikatakan mustahil (absurad) di dalam praktiknya”. Pihak yang menentang pun mengalami kekalahan. Kejadian penting yang lain dimasa itu adalah meningkatnya dampak dari teori akuntansi terhadap perpajakan atas laba usaha. Meskipun Undang-Undang pendapatan tahun 1913 telah memberikan dasar kalkulasi laba kena pajak dengan dasar penerimaan dan pengeluaran kas, Undang-Undang tahun 1918 adalah yang pertama mengakui peranan dari prosedur akuntansi di dalam penentuan laba kena pajak.

2 Tahap kontribusi institusi (1933-1959)

1. Pada tahun 1934, Kongres menciptakan SEC dengan tugas untuk mengelola beragam hukum-hukum investasi federal, termasuk Undang-Undang Sekuritas pada tahun 1933 yang mengatur penerbitan sekuritas di pasar-pasar antarnegara bagian dan Undang-undang Sekuritas tahun 1934 yang mengatur perdagangan sekuritas.

2. Setelah publikasi yang dilakukan oleh Ripley di dalam satu artikel yang mengkritik teknik-teknik pelaporan sebagai sesuatu yang memperdayakan, George O. May, kebangsaan Inggris, mengusulkan agar Institut Akuntan Publik Bersertifikat Amerika (American Institute of Certified Public Accountant-AICPA) memulai sebuah usaha kerja sama dengan bursa efek. Sebagai akibatnya, Komite Khusus dari AICPA melalui kerja sama dengan Bursa Efek menyarankan solusi umum berikut ini :

Alternatif yang lebih pratikal adalah membiarkan setiap perusahaan untuk bebas memilih metode-metode akuntansinya sendiri di dalam …batasan yang sangat luas…namun mengharuskan adanya pengungkapan dari metode yang dipergunakan dan konsistensi pengaplikasiannya dari tahun ke tahun..

Sebagai tambahan, Komite mengusulkan percobaan resminya yang pertama untuk mengembangkan teknik-teknik akuntansi yang berlaku umum. Dikenal sebagai “prinsip-prinsip umum” (board principles).

3. Setelah diterbitkannya ASR No. 4 oleh SEC, yang menantang profesi akuntan untuk memberikan “dukungan substansial dari yang berwenang” bagi prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku, dan meningkatnya kecaman dari Asosiasi Akuntansi Amerika (American Accounting Association) dan para anggotanya yang baru saja dibentuk, Institut selanjutnya di tahun 1938 memutuskan memberikan kuasa kepada Komite Prosedur Akuntansi (Committee Accounting Procedure-CAP) untuk mengumumkan keputusannya.

3 Tahap politisasi (1973-sekarang)

Keterbatasan yang dimiliki oleh baik asosiasi profesional maupun manajemen di dalam memformulasikan suatu teori akuntansi telah mengarah kepada pengadopsian suatu pendekatan yang lebih deduktif sekaligus melakukan politisasi atas proses penetapan standarnya-sebuah situasi yang diciptakan oleh pandangan yang berlaku umum bahwa angka-angka akuntansi memengaruhi prilaku berekonomi dan, sebagai konsekuensinya, aturan-aturan akuntansi hendaknya dibuat di dalam arena politik.

Sejak awal, FASB telah menerapkan sebuah pendekatan deduktif dan quasi politik dalam formulasi dari prisnip-prinsip akuntansi. Hal yang dilakukan oleh FASB mendapatkan nilai yang lebih baik, pertama, dengan adanya usaha untuk mengembangkan suatu kerangka kerja teoretis atau kesepakatan dalam akuntansi, dan kedua, dengan lahirnya berbagai kelompok yang berkepentingan, yang kontribusinya diperlukan bagi penerimaan “umum” atas standar baru. Oleh sebab itu, proses penetapan standar memiliki aspek politis di dalamnya.

Proses dari penetapan standar dapat digambarkan sebagai demokratis karena, seperti semua badan pembuat peraturan, hak Dewan untuk membuat peraturan pada akhirnya akan sangat bergantung kepada persetujuan dari pihak yang diatur. Tetapi karena penetapan standar membutuhkan beberapa perspektif, maka tidaklah tepat jika suatu standar ditetapkan dengan hanya didasarkan pada penggambaran dari para pemilihnya. Hal yang serupa pula, proses tersebut dapat diuraikan sebagai legislatif karena penetapan standar harus dimusyawarahkan dan karena seluruh pandangan harus didengarkan. Tetapi para penyusun standar diharapkan untuk dapat mewakili seluruh pemilih sebagai satu kesatuan dan tidak menjadi perwakilan dari sekelompok pemilih tertentu. Proses ini dapat diuraikan sebagai bersifat politis karena terdapat satu usaha pembelajaran yang terkait dengan usaha untuk mendapatkan penerimaan satu standar baru.

Sumber :

1) http://muttaqinhasyim.wordpress.com/2009/05/27/isu-utama-akuntansi-internasional/

2) https://sites.google.com/a/akuntansi-ku.co.cc/komunitas-akuntansi-stie-widya-darma-kotamobagu/sejarah